Mereka yang duduk diantara
puing puing bangunan yang tak kunjung selesai
bersandar ditempat yang terlihat teduh dengan hembusan angin yang sepoy
membuat keringat yang membanjiri pakaian yang lusuh sedikit menyurut, mereka
datang dari berbagai sudut penjuru kota
untuk belajar di kota kediri mempelajari idieologi kehidupan yang urgen dan
belajar arti hidup dari miniatur kenyataan arti sebuah doa, berkah, dan hal-hal
yang masih dianggap misteri karena kepastiannya yang masih bersifat abstsrak bagi
sebagian kalangan, mereka pegang teguh karena bukti aktual nyata yang meyakinkan
gengsi yang membatin, dan ego
yang merelung disukma yang penuh emosional mereka runtuhkan hanya karena bentuk
pengabdian kepada sang kyai demi meraup benih-benih keberkahan yang tak
tertara. mereka bukan malaikat tak bersayap, bukan pula sytan yang berkopyah
tapi mereka hanya manusia biasa yang sedang menempuh jengjang pendidikan syar’i
yang penuh gengsi dan fantasi dengan fasilitas yang serba-serbi tak seperti
mereka para jenjang academi yang penuh kenyamanan duniawi.
mereka datang ke kampus
dengan rasa penuh percaya diri mengenakan pakaian lusuh nya walau seperti itu
mereka terus berkarya meski tak ada rupiah yang berdiam disini disaku celana. Karena
keyakinan mereka tentang arti berkah dan doa dari sang kyai, kepenatan mereka
lepaskan dengan hal-hal yang begitu konyol ada kalanya gojlog menggojlog dengan kawan sepennggungan, menggoda para miss mahasiswi tribaktai yang
lewat dengan siulan, atau kata kata yang irama penuh goda “kita sambut cantik
nya indonesia tretet,,,,,
tetettttt”,”mba mau dong disenyumin “ tanpa ada ganngguan fisik karena itu
melebihi batas wajar bagi mereka.
mereka dengar walau sambil lewat atau bekera
tentang prinsip tawzun,tasamuh,dan ta’adul yang menjadi ideologi kita mereka
lihat dengan mata kepala sendiri bukti dari prinsip dengan aksi aksi
solideritas yang begitu toleran
mereka bertanya “mba,mas apa
ada sikap toleran itu untuk kami yang setiap hari mengabdi di kampus ini untuk
kenyamanan kalian .?” mohon maaf jika
sering candaan kami kalian anggap kelewatan, pentangan bagi kami bercanda
dengan kontak fisik kami ingin bisa membunuh jarak yang menjadi pembatas karena
kita sama sama pelajar agama meski degan konsep yang berbeda “mba, mas lambaian
tangan kalian senyuman ramah kalian sangat berarti bagi kami..! biar keringat
kami yang dijemur matahari biar kami makan sendiri perasaan kami yang
berlawanan agar kalian bisa nyaman belajar,bercanda di ruang kelas yang penuh
warna karena ini jalan proeses yang kami pilih “ kami sagat mendukung jika ada
acara roan bareng mahasiswa aktivis,hedonis atau apapun namanya untuk membangun
kampus kita
sebagian dari kita berkata
“sudahlah biarkan saja mereka menikmati ideologi tanpa kritik sosial dengan
segala kepolosan nya “, “ buat apa capek capek bantu mereka.? toh tenaga mereka
sudah di beli oleh kampus?”, “masih ada hal yang lebih penting untuk dibantu”
,” maaf aksi solideritas kami itu harus terlihat khalyak ramai agar menjadi
inspirasi bagi ruang sosial”, “berjiwa sosial dan so sial itu beda loch..!”.
ini bukan tentang apa atau
siapa mereka, benar mereka sangat mementingkan khidmah pada sang kyai benar
mereka sering bertingkah konyol yang kadang menjengkelkan benar mereka tak
pernah mengemis aksi solideritas kita tapi ini tentang apa yang bisa kita
lakukan untuk meraka yang berupaya sepenuh hati untuk kita disini?
Mata yang menjadi
tuli,telinga yang menjadi bisu,dan mulut yang menjadi buta sangat bersebrangan
dengan prinsip kita berfikir,berdzikir dan amakl shaleh
By arul ghazali
Wajar bagi mahasiswi enggan untuk tersenyum bahkan lebih memilih menundukkan kepalanya ketika di godain sama mas-mas yang ro'an. Karena mahasiswinya takut kalau tersenyum nanti mas-mas nya langsung baperrr, lebih-lebih jatuh hati...hehe
BalasHapusOpiniku